MAKNA DAN TUJUAN PERNIKAHAN
Banyak calon pengantin belum bisa memahami makna dan tujuan sebuah pernikahan. Maka dari itu kami mencoba untuk menjabarkannya dan semoga bermanfaat
A. Pengertian Pernikahan
Secara Bahasa Nikah berasal dari kataنَكَحَ – يَنْكِحُ – نِكَاحًا yang berarti الدَحْم (mengawini) atau الخَجأ (menggauli).[1] Hal ini sesuai dengan firman
Allah –subhaanahu wa ta’ala-,
الزاني لا ينكح إلا زانية أَو مشركة والزانية لا ينكحها إِلا زانٍ أَو مشرك
“Laki-laki yang berzina tidak menikah melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik…“ [2]
Ada juga yang mengatakan bahwa nikah secara bahasa bermakna الضم (menggabungkan) dan الجمع (mengumpulkan/menghimpun). Dikatakan pula artinya التداخل (saling memasuki/mencampuri) sebagaimana dalam kalimat تناكحت الأشجار (mengawinkan tumbuhan) apabila saling tarik menarik dan saling bergabung antara satu jenis tumbuhan dengan lainya. [3]
Adapun al-Azhari mengatakan bahwa pada asalnya nikah dalam perkataan Arab bermakna الوطء (al-wath’u) yakni bersetubuh/berhubungan intim. Dikatakan pula bahwa nikah bermakna التزويج yakni perkawinan yang menjadi sebab diperbolehkannya berhubungan intim dengan cara yang halal.[4]
Atau sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Faarisi[5] dan Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –rahimahullaahu ta’ala– bahwa nikah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu akad dan jima’ (bersetubuh). Apabila dikatakan nakaha binta fulaanin, maksudnya melakukan akad nikah dengan wanita si fulan. Namun jika dikatakan, nakaha zaujatahu, maka maksudnya al-wath’u (menyetubuhinya). Jadi kedua makna tersebut memiliki kesamaan arti tergantung kata yang disandarkan kepadanya. Jika kata nikah disandarkan kepada wanita asing, maka maksudnya adalah akad. Adapun jika disandarkan kepada hal yang mubah (diperbolehkan), maka maksudnya adalah jima’ (bersetubuh).[6]
Adapun pengertian nikah secara istilah, maka ulama mengemukakan berbagai pendapat mengenai hal ini. Namun pada dasarnya seluruh pengertian tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Perbedaan tersebut tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam pernikahan tersebut.
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –rahimahullaahu ta’ala– menjelaskan bahwa pengertian nikah menurut syar’i berarti melaksanakan akad dengan seorang wanita dengan maksud untuk mendapatkan kenikmatan dengannya dan mendapatkan anak (keturunan) serta manfaat-manfaat yang lain yang ada berhubungan dengan berbagai kemaslahatan dilaksanakan nikah.[7]
Adapun Ibnu Qudamah –rahimahullaahu ta’ala– mengatakan bahwa nikah menurut istilah syar’i adalah suatu akad perkawinan dan lafadz nikah secara mutlak mengandung pengertian tersebut selama tidak ada dalil yang merubahnya. Al-Qadhi berkata tentang adanya keserupaan dalam hakekat secara menyeluruh antara akad dan hubungan intim[8], sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-,
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu.”[9]
Disebutkan dalam al-Majmuu’ Syarhu al-Muhadzdzab, bahwa nikah dalam istilah syar’i berarti suatu akad (sebuah ikatan) yang menjadikan sebab diperbolehkannya berhubungan intim dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin. Adapun dalam masalah akad ini terdapat banyak dalil, baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kata nikah dalam al-Qur’an tidak ada maksud lain kecuali akad.[10]kecuali yang tercantum dalam firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-,
حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ
“…hingga dia nikah dengan suami yang lain.“ [11]
Karena jika kata nikah dalam ayat ini dimaknai dengan makna selain al-wath’u (bersetubuh), maka akan dikatakan sebagai perzinaan, bukan pernikahan.[12]
Dalam mendefinisikan makna nikah ini, maka ulama terbagi menjadi tiga[13], yakni:
Pada hakekatnya nikah adalah sebuah akad, adapun berhubungan intim sifatnya majazi.[14] Sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Pada hakekatnya maksud dari nikah adalah berhubungan intim. Adapun akad sifatnya majazi. Ini merupakan pendapat kalangan Syafi’iyah dan perkataan Abu Hanifah. Dan pengertian ini lebih dekat kepada pengertian secara bahasa. Adapun pendapat yang pertama lebih dekat kepada pengertian secara syar’i. Imam az-Zamakhsyari[15] mengatakan, “Tidak ada maksud lain dari nikah dalam al-Qur’an selain makna akad karena makna watha’ (bersetubuh) hanya sebagai penjelas. Adapun jika ingin menggunakan lafadz kinayah (kiasan), maka dapat menggunakan kata al-mulaamasah atau al-mumaasah (saling bersentuhan).”
Pada hakekatnya maksud dari nikah adalah kedua pengertian di atas. Dan pendapat ini dibenarkan oleh Ibnu Hajar –rahimahullaahu ta’ala-, walaupun kata yang banyak dipakai adalah kata akad.
B. Tujuan Pernikahan
Manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat hidup sendiri. Ia pasti membutuhkan orang lain untuk berkomunikasi, melaksanakan tugas dan memenuhi segala kebutuhanya. Selain itu manusia juga dikaruniai nafsu berupa kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang dirasa cocok. Kecenderungan ini merupakan satu bentuk ciptaan yang ada pada diri manusia, sebagai urgensi kelangsungan hidupnya. Seperti makan, minum dan menikah.
Lebih spesifik, Islam adalah agama kehidupan yang menghargai insting biologis (seks) yang merupakan bagian penting dari kehidupan ini. Sudah menjadi sunatullah, bahwa Islam mampu menangani semua itu secara seimbang, menarik dan obyektif, selama manusia masih menganggap perkawinan merupakan elemen penting dalam kehidupan ini.
Syari’at yang ditentukan Islam mengajak pasangan suami-istri untuk selalu berusaha menemukan kebaikan, keteguhan dan perjuangan pasangannya disamping hanya sekedar kenikmatan berhubungan badan.
Maka Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- memberikan anjuran kepada para pemuda yang belum menikah agar segera menikah, karena begitu besarnya faedah dan tujuan yang ada padanya. Diantaranya faedah dan tujuan yang utama adalah:
1. Menjalankan perintah Allah –subhaanahu wa ta’ala-, sebagaimana hal ini tertuang dalam firman-Nya:
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.“ [16]
2. Meneladani Sunnah Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam .
Sebagaimana dikisahkan dalam hadits bahwa suatu ketika Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- didatangi oleh tiga orang. Yang pertama mengatakan bahwa dirinya akan melaksanakan shalat malam secara terus menerus, yang kedua mengatakan bahwa dirinya akan melaksanakan shaum sepanjang masa (shaum Dhahr). Adapun yang ketiga mengatakan bahwa dirinya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Maka seketika itu, Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- marah dan mengatakan bahwa barangsiapa yang membenci sunnah beliau -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- , maka ia bukan dari golongan beliau.[17]
3. Agar orang yang beriman mengetahui kenikmatan di dunia berupa berhubungan badan dan membandingkannya dengan kenikmatan di akhirat nanti.
Dengan mengetahui nikmat yang telah Allah –subhaanahu wa ta’ala- anugerahkan kepada seorang yang beriman, berupa kenikmatan berhubungan badan, maka seorang yang beriman akan membandingkannya dengan kenikmatan yang akan diperoleh orang-orang yang senantiasa taat terhadap perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, yang akan Allah berikan pada kehidupan yang kekal di Surga. Kenikmatan yang berlipat ganda yang belum pernah seorangpun merasakannya. Sehingga hal itu akan menambah keimanan dan ketakwaan seseorang kepada Allah –subhaanahu wa ta’ala-.
Seperti disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas RA, bahwa Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda,
يُعْطَى الْمُؤْمِنُ فِي الْجَنَّةِ قُوَّةَ كَذَا وَكَذَا مِنْ الْجِمَاعِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَ يُطِيقُ ذَلِكَ قَالَ يُعْطَى قُوَّةَ مِائَةٍ
“Orang beriman kelak di Surga diberi kekuatan bersetubuh sekain dan sekian.” Ada shahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah apakah mampu seperti itu?“ Beliau menjawab, “Mereka diberi kekuatan jima’ sampai seratus kali lipat. “[18]
4. Menciptakan ketenangan jiwa dan rasa kasih sayang antara suami-isteri.
Allah SWT berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan Dia jadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. “[19]
5. Melestarikan keturunan, dan mendapatkan generasi yang shalih yang siap berjuang di jalan Allah –subhaanahu wa ta’ala- demi menegakkan kalimatullah di muka bumi ini.
Suatu hal yang lebih urgen pada pernikahan bukan hanya sekedar untuk memperoleh anak, akan tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah SWT yang siap mengemban dakwah dan berjihad di jalan-Nya demi menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Generasi seperti inilah yang sangat diharapkan kelahirannya di muka bumi ini oleh Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- .
Dikisahkan dalam hadits, bahwa suatu ketika Sulaiman bin Daud AS berkata, “Sungguh pada malam hari ini aku akan menggilir seratus isteri (atau dikatakan, sembilan puluh sembilan). Setiap dari mereka akan melahirkan para penunggang kuda yang siap berjuang di jalan Allah.” Maka shahabatnya berkata kepadanya, “Ucapkanlah insyaAllah (jika Allah menghendaki).” (Akan tetapi) dia lupa untuk mengucapkan insyaAllah, maka tidak ada seorangpun dari isterinya yang hamil melainkan hanya satu saja yang kemudian melahirkan separuh orang. Maka Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda, “Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya dia (Sulaiman) mengucapkan insyaAllah, sungguh (anak-anaknya) akan menjadi penunggang kuda yang siap berjihad di jalan Allah.”[20]
Keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Oleh karena itu suami-istri bertanggung jawab dalam mendidik, mengajarkan, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar yang diridhai oleh Allah –subhaanahu wa ta’ala-. Maka Rasulullah SAW menganjurkan kepada seorang muslim agar menikah dengan wanita yang memiliki rasa sayang, baik kepada suaminya ataupun kepada anaknya disamping harus subur (yang mampu melahirkan banyak anak).
Beliau -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ.
“Nikahilah wanita yang subur dan penyayang. Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya umatku (pada hari kiamat).”[21]
6. Menjaga kemaluan, menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan wanita.
Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda yang artinya:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum, karena shaum itu dapat membentengi dirinya.“[22]
Rasulullah SAW juga bersabda bahwa sesuatu yang banyak menyebabkan manusia tergelincir ke dalam neraka, adalah mulut dan kemaluan.[23]
7. Meredam syahwat dan menyalurkannya kepada sesuatu yang halal demi mengharapkan pahala dan ridha Allah –subhaanahu wa ta’ala.
Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا.
“Dan hubungan badan diantara kalian adalah shadaqah.“ Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah mengapa seseorang yang menyalurkan syahwatnya mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, “Tidakkah kalian ketahui, jika ia menyalurkannya pada sesuatu yang haram, maka ia akan mendapatkan dosa? Adapun jika ia menyalurkanya pada yang sesuatu yang halal, maka ia akan mendapatkan pahala.“[24]
8. Mencegah tersebarnya perzinaan dan penyakit menular di kalangan umat Islam.
Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya,
“Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara, jika telah menimpa kalian, maka tidak ada kebaikan lagi bagi kalian. Dan aku berlindung kepada Allah, semoga kalian terhindar darinya. Lima perkara itu ialah (1) Tidak merajalela praktek perzinaan pada suatu kaum sampai mereka berani berterus-terang melakukannya, melainkan akan terjangkit penyakit menular dengan cepat, dan mereka akan ditimpa penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang lalu…..“[25]
Sungguh mendidik tabiat biologis dan mensucikanya serta mengarahkanya kepada jalan yang benar merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Sebab, keselamatan dan kebangkitan umat tergantung padanya.
Oleh karena itulah kaum Muslimin tidak berselisih pendapat tentang disyariatkannya pernikahan. Bahkan hukumnya wajib bagi orang yang takut terjebak dalam kemaksiatan dan kemungkaran, apalagi jika pemahaman agamanya lemah dan banyaknya godaan.
Tujuan-tujuan pernikahan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah di atas menunjukkan bahwa perlunya kematangan dan kesiapan mental bagi yang ingin melaksanakan pernikahan. Kematangan dan persiapan menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan berada pada tataran yang sangat serius yang tidak hanya memperhatikan aspek biologis akan tetapi sesuatu yang tidak kalah penting adalah memperhatikan aspek psikologi dan dengan berdasarkan inilah diduga kuat bahwa pernikahan dimasukkan ke dalam kategori ibadah.
[1]Ibnu Mandzur, Lisaanu al-‘Arab, (Kairo: Daar al-Ma’arif), jilid VI, hal. 4537, bab: النون (Huruf Nuun).
[2]Qs. An-Nuur : 3.
[3]Muhyidin an-Nawawi, al-Majmuu’ Syarhu al-Muhadzdzab, (Beirut: Daar al-Fikr, 1425 H/2005 M), juz XVII, hal. 276.
[4]Ibnu Mandzur,
[5]Muhyidin an-Nawawi,
[6]Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zaadi al-Mustaqni’, (Daar al-Anshar, 2003 M), cet. Ke-1, juz V, hal. 103.
[7]Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, ibid.
[8]Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Kairo: Daar al-Hadits, 1425 H/2004 M), juz IX, hal. 113.
[9] Qs. an-Nisa : 22.
[10]Muhyidin an-Nawawi,
[11]Qs. al-Baqarah : 230.
[12]Ibnu Qudamah al-Maqdisi,
[13]Ibid.
[14]Makna yang menyimpang dari makna sebenarnya. [Lihat: Ibnu Mandzur, op.cit., jilid V, hal. 3327, bab: الغين (Huruf Ghain)].
[15]Beliau adalah Abu al-Qasim, Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad al-Khawarizmi. Seorang imam dari Madzhab Hanafi yang menganut aliran Mu’tazilah. Beliau dijuluki Jaarullah (karena pernah melakukan perjalanan ke Makkah dan sekitarnya selama beberapa hari). Beliau dilahirkan pada bulan Rajab 467 H di Zamakhsyar, perkampungan di daerah Khawarizm dan wafat pada malam Arafah 538 H di daerah dekat Khawarizm setelah kembalinya dari Makkah. [Lihat: DR. Muhammad Hin adz-Dzahabi, al-Tafsiiru wa al-Mufassiruun, (Daar al-Kutub al-Hadiitsah, 1396H/1976M), cet. Ke-2, juz I, hal. 429-431]. Imam Ibnu Hajar –rahimahullah ta’ala– berkata, “Beliau adalah orang yang shalih, akan tetapi beliau penyeru kepada madzhab Mu’tazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitabnya al-Kasysyaaf.”[Lihat: Ibnu Hajar, Lisaanu al-Miizaan, (Beirut: Daar al-Fikri, 1407 H), cet. Ke-1, juz VI, hal. 4, dan Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi (Imam adz-Dzahabi), Miizaanu al-I’tidaali fii Naqdi al-Rijaal, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1416 H), cet. Ke-1, juz VI, hal. 383].
[16]Qs. an-Nuur : 32.
[17]HR. al-Bukhari, dalam kitab: Nikah, bab: Anjuran untuk Menikah, ( no. 5063 ) dan Muslim dalam syarah-nya, dalam kitab: Nikah, bab: Disunahkan Menikah Bagi Orang yang Memiliki Keinginan dan Memiliki Kemampuan dan Menyibukkan Diri dengan Puasa Bagi yang Tidak Mampu (no. 3389 ).
[18] HR. at-Tirmidzi, dalam kitab: Sifat Surga dari (Kabar) Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- , bab: Sifat Jima’ (Bersetubuh) Para Penghuni Surga, ( no. 2536 ). Hadits hasan shahih. Dan dalam bab ini ada hadits dari Zaid bin Arqam. Abu Isa berkata, “Hadits ini shahih gharib. Kami tidak mengetahuinya dari hadits Qatadah dari Anas kecuali dari hadits Imran al-Qattan.” Lihat pula: ‘Alaa’uddin ‘Ali al-Muttaqi al-Hanudi, op.cit., jilid XIV, hal. 205, [Huruf Qaaf dalam kitab: Kiamat, pada bagian: al-‘aqwaal (perkataan), bab: Penyebutan Para Penghuni Surga dan juga Anak-Anak Kaum Musyrikin, (no. 39355).
[19] Qs. ar-Ruum : 21.
[20] HR. al-Bukhari dalam kitab: Jihad dan Penjelajahan, bab: Menginginkan (lahirnya) Anak untuk Tujuan Jihad, (no. 2819 ).
[21] HR. Abu Daud, dalam kitab: Nikah, bab: Larangan Menikah dengan Wanita yang Tidak Mampu Melahirkan Anak, ( 2050).
[22]HR. al-Bukhari dalam kitab: Nikah, bab: Sabda Nabi -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- , ‘Barang Siapa Diantara Kalian yang Sudah Ba’ah, Maka Menikahlah Karena Hal itu Lebih Menundukkan Pandangan dan Lebih Menjaga Kemaluan.’, (no. 5065) dan bab: Barang Siapa yang Belum Mampu (Ba’ah), Maka Berpuasalah, (no. 5066) dan Muslim dalam syarah-nya, dalam kitab: Nikah, bab: Disunahkan Menikah Bagi Orang yang Memiliki Keinginan dan Memiliki Kemampuan dan Menyibukkan Diri dengan Puasa Bagi yang Tidak Mampu, ( no. 3384, 3386 ).
[23]Lihat: HR. at-Tirmidzi, dalam kitab: Kebaikan dan Silaturahmi, bab: Akhlak yang Baik, ( no. 2004 ). Abu Isa berkata, “Hadits shahih gharib.”
[24]HR. Muslim dalam syarah-nya, dalam kitab: Zakat, bab: Penjelasan Bahwa Shadaqah Terdapat Pada Semua Hal yang Ma’ruf, (no. 2325).
[25]HR Ibnu Majah, dalam kitab: Fitnah-Fitnah, bab: Hukuman-Hukuman, (no. 4019), hadits hasan. Al-Bushairi mengatakan, “Hadits shahih isnad, dan hadits ini baik untuk diamalkan.” Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan riwayat yang serupa dari hadits Buraidah, dan beliau mengatakan, “Hadits shahih isnad.” [Lihat: Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Riyadh: Baitu al-Afkaar al-Dauliyyah), hal. 432].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar